468x60 Ads

Selasa, 14 Agustus 2012

DORAEMON DAN KUNJUNGAN MUSIUM

   Pernah berpikir ingin memiliki DORAEMON?
  Pasti menyenangkan kalau bisa memilikinya walau cuma sehari saja. Dengan kantong ajaibnya yang terkenal itu, kita bisa melakukan apa saja yang kita suka, seperti; terbang dengan baling-baling bambu, jalan-jalan dengan cepat melalui pintu ajaib (tanpa mabuk lagi. hehe). Bisa berkunjung ke luar angkasa, atau bahkan kembali ke masa lalu. Nah ! yang terakhir ini rasanya menarik ya, apalagi buat anda yang sering diomelin sang kakek/nenek. Sesekali pasti kamu pingin tahu kira-kira seperti apa mereka saat muda. Apakah nakal seperti kita? atau bahkan lebih. hehe.
   Film ini sepertinya cukup menginspirasi para ilmuwan dunia. Saat ini banyak kita dengar para ilmuwan sedang meneliti bagaimana caranya bisa kembali ke masa lalu, atau dapat pergi ke suatu tempat hanya dalam hitungan detik, yang saat ini kita sebut dengan lobang cacing atau lorong waktu.
    Diperkirakan kukuatan cahaya mampu mewujudkan keinginan itu. Kita tunggu bagaimana hasilnya nanti. Jika benar berhasil, belajar sejarah tidak harus di sekolah, tapi kita bisa langsung menyaksikan ke tempat kejadian perkara (TKP).
   Berbicara mengenai sejarah, seharusnya kita tidak harus menunggu lama untuk bisa mengetahui ceritanya. Selain sudah banyak buku sejarah yang beradar di Indonesia, kita juga bisa mengunjungi musium yang banyak menyimpan bukti-bukti sejarah yang panjang.
   Musium merupakan saksi mata sejarah. Disana kita dapat menemukan berbagai macam bukti dari peradaban masa lalu, mulai dari peninggalan benda-benda kerajaan, foto-foto masa lalu, dan masih banyak lainnya.
  Setiap daerah biasanya memiliki musium. Itu sebagai bukti bahwa masing-masing daerah mempunyai cerita dan peradaban yang berbeda-beda.
   Jika anda ingin mengetahui sejarah Jawa, anda bisa berkunjung ke musium-musium di pulau Jawa, jika anda ingin mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat Padang, anda bisa berkunjung ke Sumatra Barat, dan jika ingin mengetahui sejarah Aceh, anda dapat mengunjungi Provinsi Aceh. 
   Musium saat ini juga sudah beragam. Bukan hanya mengoleksi benda-benda sejarah peradaban manusia saja, tapi sudah ada musium yang menyimpan khusus memamerkan berbagai jenis hewan tertentu. seperti; Musium Kupu-kupu, musium kerang, dan musium lainnya.
   Kali ini saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke sebuah musium yang terletak di provinsi paling barat Indonesia. Provinsi Aceh.

   Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu itu bangunannya berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15 November 1914.
   Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka dari pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya.
   Pada pameran itu Paviliun Aceh berhasil memperoleh 4 medali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Keempat medali emas tersebut diberikan untuk: pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk pertunjukan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh Gubernur Aceh Swart. Atas prakarsa Stammeshaus, Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31 Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Blang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggungjawab penguasa sipil dan militer Aceh F.W. Stammeshaus sebagai kurator pertama.
   Setelah Indonesia merdeka, Museum Aceh menjadi milik Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Blang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini, di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah pada tanah seluas 10.800 m2. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat.
   Dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor 093/0/1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Yoesoef. Sesuai peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai Daerah Otonomi pasal 3 ayat 5 butir 10 f, maka kewenangan penyelenggaraan Museum Negeri Propinsi Daerah Istimewa Aceh berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sekarang Provinsi Aceh).

Apa saja yang terdapat di Musium Aceh?

*Cakra Donya*
   Cakra Donya adalah sebuah lonceng yang terbuat dari besi  berbentuk seperti stupa. Pada sisi luar terdapat diskripsi dalam huruf Arab (sekarang tidak terbaca lagi), dan yang huruf Cina berbunyi "lingtang niat toeng  yunt kat yat ijo" yang artinya : Sultan Ling Tang Yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke-5.
   Berdasarkan  penelitian lonceng ini berasal dari Cina dibuat pada tahun 1409 dan pendapat lain pada tahun 1469. 
   Cakra Donya berada di kompleks Keraton Aceh. Sejak tahun 1524 sebagai rampasan perang dari Samudera Pasai. Dibawa oleh Sultan Ali Mughayatsyah tahun 1915. 
   Lonceng tersebut dipindahkan ke Musium Aceh oleh gubernur militer Aceh H.N.A. Swart.





*Rumoh Aceh*

   Rumoh Aceh merupakan bangunan tradisional Aceh yang berasal dari paviliun Aceh pada Pameran Kolonial (De Koloniale Testootelling) di Semarang yang digelar antara 13 Agustus - 15 November 1914 yang kemudian dibawa ke Aceh.
   Untuk memasuki Rumoh Aceh, harus melewati Reunyuen (tangga) menuju Sramoe Keue berfungsi sebagai ruang tamu, tempat menjalankan kegiatan agama dan tempat bermusyawarah. Bagian ujung Barat ruangan ditutup dengan tikar, dan pada upacara-upacara sakral dan khidmat pada bagian tersebut dihamparkan permadani tempat dimana setiap tamu disediakan tika duek (tikar untuk duduk) berbentuk persegi empat berhias anyaman indah. 
   Dari sramoe keue melalui rambat (ruang tengah) yang diapit dua kamar tidur, orang dapat masuk ke sramoe likot (serambi belakang). Rambat dan sramoe likot merupakan kawasan wanita yang hanya boleh dimasuki oleh sesama penghuni rumah atau kalangan kerabat dekat, termasuk lelaki secara terbatas. 
   Rumoh Inong atau jureeyang terletak pada bagian Barat dan Timur rambat merupakan kamar tidur utama dan paling suci dalam rumah tradisional Aceh, di mana pasangan suami istri tidur dan upacara-upacara dilaksanakan, sedangkan sramoe likot berfungsi sebagai ruangan keluarga dan ruangan dapur. Sebagai ruangan keluarga sramoe likot merupakan tempat berkumpul anggota keluarga, mengasuh anak, dan melakukan kegiatan sehari-hari para wanita, seperti jahit-menjahit, menganyam tikar dan sebagainya. 
   Ruangan dapur berisi segala perlengkapan dapur, mencakup perlengkapan masak-memasak dan bahan makanan. Sudah menjadi kebiasaan, dapur selalu ditempatkan pada bagian ujung Timur ruangan sramoe likot agar tidak menggangu kegiatan ibadah shalat. 
   Bagi anda yang ingin melihat Rumoh Aceh juga bisa berkunjung ke Taman Ratu Safiatuddin. Di sana anda tidak hanya dapat melihat Rumoh Aceh saja, tapi berbagai rumah tradisonal yang terdapat di Provinsi Aceh dengan keunikan dan kekhasan sendiri. Seperti; Rumah tradisional Gayo, Aceh Selatan (Aneuk Jamee), dan lain sebagainya.

*Pemakaman Sultan*


   Di Musium Aceh anda juga dapat menemukan pemakaman para Sultan Aceh, seperti;
Sultan Ala Uddin Ahmad Syah 1727-1735
Sultan Ala Uddin Johan Syah 1735 - 1760
Sultan Ala Uddin Mohd Daud Syah 1781 - 1795, dan lainya. 




   Katalogisasi Museum telah terbagi 10 bagian koleksi.
Arkeologika
Peninggalan benda-benda bersejarah pada kerajaan Aceh masa lalu.
Biologika
Koleksi berasal dari makhluk hidup (flora dan fauna) yang telah di awetkan (ofset).
Etnografika
Benda-benda peninggalan hasil budaya dan suku bangsa Aceh dari masa awal ditemukan hingga yang masih dipergunakan masa kini.
Filologika
Naskah-naskah manuskrip peninggalan kerajaan-kerajaan Aceh.
Geologika
Benda-benda yang berkaitan dengan geografi berupa bebatuan dan mineral alam.
Historika
Benda-benda peninggalan sejarah dan prasejarah.
Keramonologika
Koleksi keramik kerajaan-kerajaan Aceh.
Numismatika
Alat tukar-menukar berupa mata uang kuno yang di gunakan kerajaan Aceh (dirham) dan stempel kerajaan (heraldika)
Seni rupa
Koleksi lukisan-lukisan bersejarah.
Teknologika
Benda-benda yang dikaryakan dengan menggunakan teknologi.

   Musium Aceh dapat anda kunjungi setiap hari. Kecuali hari Senin.
   Jadwalnya:
Selasa s.d Kamis    pagi (8.30 - 12.30) dan siang (13.30 - 17.30)
Jumat                      pagi (8.30 - 11.30) dan siang (14.00 - 17.30)
Sabtu s.d Minggu   pagi (8.30 - 12.30) dan siang (14.00 - 17.30).

   Pada saat itu kami berkunjung pada hari minggu, 29 Juli 2012. Sayang tidak ada penjaga satu pun. Padahal kami ingin bertanya lebih banyak mengenai Musium Aceh dan berkeliling melihat koleksi yang terdapat di musium ini. 
   Di sana hanya terlihat beberapa orang saja yang berkunjung. Atau jika dihitung hanya 2 orang. Empat ditambah kami. Entah karena di Bulan Ramadhan atau memang seperti itu setiap harinya. Padalah di musium lah kita bisa belajar banyak mengenai sejarah daerah kita sendiri. 
   Sempat saya menemui salah satu pengunjung yang datang kemudian dengan mobilnya. Setelah parkir beliau bertanya-tanya mengenai Musium Aceh. Beliau mengaku warga asli Aceh yang rumahnya juga tidak jauh dari musium. Tapi, Tidak pernah berkunjung ke tempat ini. Diperkirakan umurnya sekitar 30-an tahun. Dia sempat bercerita bahwa beliau sempat malu saat ditanya oleh orang luar mengenai musium Aceh. Seperti temannya yang di Jakarta. Mereka bahkan jauh-jauh sudah pernah mengunjungi musium Aceh. Dan hari itu akhirnya dia memiliki kesempatan untuk berkunjung. Tapi lagi-lagi sayang, karena hari itu tidak ada penjaga, jadi nasibnya sama seperti kami. Hanya bisa menikmati koleksi yang ada diluar gedung saja. Seharusnya waktu kunjung masih buka, tapi entahlah mengapa tidak ada yang bisa memandu kami untuk melihat setiap koleksi. Barangkali memang jarang ada kunjungan. sehingga menyebabkan yang bertugas enggan hanya berdiam diri menunggu pengunjung. Kecuali memang saat ada kunjungan, seperti dari Sekolah, atau mungkin turis, baik lokal maupun manca negara. Itupun mungkin dalam jumlah banyak. Saya pun tidak tahu. Karena saya tidak sempat mewawancarainya.
   Nah ! mungkin ini bisa menjadi pelajaran bagi kita. Agar tidak lupa dengan sejarah (sebagai pembelajaran) dan tidak segan-segan berkunjung ke musium. Dengan begitu anda tidak perlu menunggu ada Doraemon untuk mengajak menuju masa lalu.
^.^

Foto-foto koleksi musium Aceh yang sempat saya abadikan :









0 comments:

Posting Komentar