Illustration by R-Ka (Rasnadi Kartunis) |
Saat
banyak anak-anak lain di Indonesia disibukkan dengan aktivitas bermain,
Salamuddin kecil malah menghabiskan waktunya untuk menari.
Sejak umur 10 tahun, Salam sudah mulai menekuni dunia yang identik dengan gerak
tubuh itu. Tidak berlebihan memang, pria berwajah oval, dengan rambut belah
tengah ini, sudah menginjakkan kaki di negara asal kue ‘kebab’, yaitu Republik
Turki. Hasil kegigihan dan prestasinya di bidang seni tari.
Malam itu sekitar pukul 20.03, melalui panggilan handphone Ia memberi kepastian, “saya di kos sekarang, datang saja kemari,” katanya, ramah.
Kos, tempat penginapannya tidak jauh dari simpang Jambo Tape, Banda Aceh. Kira-kira hanya berjarak 3 Km. Ia tinggal bersama empat teman-temannya yang berasal dari pegunungan tinggi tanah gayo, tempat dimana Ia dibesarkan.
Suasana kos ramai malam itu, empat orang tamunya tampak asik mengadu kekuatan mereka dengan adu panco, sorakan dan teriakan mereka memecah suasana sunyi malam biasanya. Di atas karpet hijau dan coklat itu biasanya juga sering digunakan oleh teman-temannya saat menunggu masuk jam kuliah, karena jarak kos Salam dekat dengan kampus.
Berbeda dengan pria kelahiran Lawe Berungin Gayo, 1 januari 1985 itu. Sepertinya adu panco tidak menarik baginya. Ia lebih memilih di kamarnya bercerita dengan salah satu teman sanggarnya. Samar-samar terdengar pembicaraan mengenai TOEFL dan keinginan untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Penari asal Gayo Lues, Aceh Tenggara ini sangat terbuka kepada siapa saja. Ia selalu menyambut tamunya dengan baik. “kalau siang hari, kos ini penuh. Sampai kita susah untuk masuk” katanya.
Keterbukaan dan sifat apa adanya itulah yang membuat banyak kalangan mahasiswa mengenalnya. “saat di kampus IAIN yang dulu, hampir tidak bisa berhenti bersenyum saya dibuatnya. Banyak orang mengenal saya, padahal saya juga tidak paham siapa mereka. Jadinya saya senyum saja” ungkap mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) pada Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry itu.
Tommy, salah satu temannya pada Sanggar Seni Seulawat (S3), mengaku mengagumi sosok Salam yang sederhana. “Dia orangnya baik, nyambung kalau diajak bicara, sederhana dan apa adanya, nice person, dan friendly lah,” ungkap mahasiswa Tarbiyah English (TEN), salah satu sahabat dekatnya.
“Dia sudah ngajar tari dari kampungnya, dan saat ini juga aktif melatih di S3. Orangnya suka bercanda. Kami pernah di usir di Fakultas Dakwah, gara-gara ketawanya yang sangat keras, unik, tapi lucu,” kenangnya.
“Salam suka mengesampingkan urusan kuliah. Harapan saya agar dia lebih fokus dan cepat tamat dengan TOEFL yang baik pula,” tambahnya kemudian, seraya menghidupkan motornya dan berpamitan untuk pulang.
“Bisa kena asap rokok?,” tanyanya kemudian. Perlahan Ia menghisap rokok itu dan menghembuskan asapnya keluar. Seketika asap-pun mulai menutupi wajahnya.
Di beranda rumahnya, tepat di kursi kayu panjang yang berdempetan dengan rumah tetangganya, perbincangan pun dimulai.
Tari Saman. Tidak asing lagi didengar di kalangan masyarakat Indonesia, bahkan sering ditampilkan di kancah Internasional. Tarian ini berasal dari Tanah Gayo. Pegunungan Aceh Tenggara yang terkenal dengan Taman Nasional Gunung Leuser, cagar alam nasional terbesar di Indonesia. Saman di syair-kan dengan bahasa Arab dan bahasa suku Gayo. Sebagai media dakwah Islam saat itu. Gerakan tarian saman begitu Herois dan khas dengan gelengan kepala ke kanan dan kiri, bermakna peduli terhadap sekeliling dengan melihat keadaan samping, di depan, dan sekeliling.
“Tari saman berasal dari bahasa Arab, samaniah yang artinya delapan (orang). Saman dimainkan dengan anggota yang ganjil, 11,13,15, dan seterusnya, itu sudah ditambah dengan 1 orang syech (penangkat) yang membawakan lagu, dibantu dengan 2 orang kanan dan kiri (Pengapit). Tarian ini dibawa oleh Syech Saman. Ia menyiarkan agama Islam melalui tarian saat itu,” jelas Salam sembari menghisap rokoknya.
“Tari ini bercerita tentang adat kebiasaan masyarakat Gayo Lues, kegiatan turun ke sawah atau saat panen, upacara adat, dan keagamaan. Saman sering digunakan masyarakat Gayo Lues dalam ajang silaturahmi masyarakat yang diadakan setiap 1 tahun sekali. Biasanya dipadukan dengan ‘Bines’, tarian yang dimainkan oleh para wanita Gayo” tambahnya kemudian.
Kecintaan Salam dalam seni tari tidak bisa diukur dengan kata-kata, seperti sudah melekat dalam tubuhnya. Gerak-gerak lembut tubuhnya yang khas seolah hasil kolaborasi dengan berbagai gerakan-gerakan berirama yang Ia geluti saat ini. “gak bisa diukur dengan angka, tapi dengan hati,” jawabnya mengomentari. Pria berbadan kurus dengan tinggi 173 cm ini sangat aktif di Sanggar tarinya, S3. Hari-harinya tidak bisa terlepas dari aktivitas sanggar. “seandainya ‘gak pergi ke S3, rasanya kepikiran terus, gimana adik-adik disana. Mereka kan juga pingin bisa,” ungkap Salam yang juga sebagai pelatih di sanggar itu.
Berkat kegigihan Ibrahim, pelatih tari Salamuddin saat Sekolah Dasar kelas IV silam, Ia telah melahirkan prestasi-prestasi mulai tingkat daerah, provinsi, nasional, dan bahkan internasional. Perjalanan yang panjang telah membawanya mencapai puncak yang membanggakan.
Sejak Ia masih memakai seragam merah-putih, bakat tarinya sudah mulai diasah. Bersama teman-temannya Ia menghabiskan waktu mainnya untuk berlatih menari. Biasanya mereka menampilkan kebolehan mereka saat acara-acara adat masyarakat.
“Pertama saya belajar tari saman, lumayan susah, karena ‘kan saman geraknya heroik, lincah, dan dimainkan dalam waktu yang lama. Tapi, lama kelamaan terbiasa dan mengasikkan”. Jelas Salam.
Bagian permukaan kaki kirinya tampak benjol, sepintas seperti pengapuran penyakit reumatik. Ternyata itu akibat menari. Kakinya sering dilipat dan ditindih dalam waktu yang lama, mungkin itulah penyebabnya. Hampir semua penari saman mengalami hal yang serupa. Namun, semua perjuangan itu terbayar sudah. Sejak SMP, Salam sudah meraih prestasi. Tahun 2000, Ia dan team tarinya mendapat juara II se-Aceh Tenggara. Dan juga pernah diundang ke-Sumatra Utara, Medan untuk tampil di acara walimah.
***
Para pengadu panco tampaknya sudah mulai letih.
Suara mereka perlahan samar-samar. Salam masuk ke dalam kamarnya sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Dia lupa mengingat tanggal-tanggal penampilan
tarinya.
Perlahan Ia buka lemari kayu coklat yang berada di sudut kamar ukuran 3x4 m itu. Dibalik pintu lemari itu ternyata tempat Salam menggantungkan ‘Badge’ dan kertas berisi tanggal-tanggal penampilannya.
“Pekan Seni Mahasiswa Daerah (PEKSIMIDA) ke-X kami dapat Juara III membawakan tarian Geunta. Lalu...,” jawabnya putus kemudian. Mengusap-usap rambutnya dan mengambil map berkas warna biru, beberapa piagam tersimpan disitu. Ia pun menunjukan piagamnya, diantaranya ada pementasan tarian Rapa’i Geleng pada Malam Budaya Aceh-Sunda yang diadakan di Bandung. Festival Saman ke IV TMII Jakarta pada 18 Desember 2009, dan penampilan-penampilan lainnya, baik perlombaan maupun sekedar undangan.
Republik Turki, telah menjadi saksi suksesnya Salam di dunia tari. Melalui kerjasama dengan DPW(Dewan Pemerintahan Pusat) LASQI, tepat tanggal 20 Juli 2010, mereka terbang menuju tanah transkontinental, tanda batas antara benua Eropa dan Asia itu.
Empat puluh (40) peserta perwakilan Indonesia, termasuk Salamuddin berhasil mengharumkan nama bangsa setelah ditetapkan sebagai juara III dalam ajang Internasional Folkdance Festival Yalova, Turky. Saat itu mereka membawakan tari Geunta. Acara ini diikuti oleh 14 negara di dunia. Selain perlombaan, mereka juga tampil di beberapa daerah disana, tempat wisata, permainan, bahkan di jalanan. Antusias masyarakat Turky terhadap kebolehan team Aceh, Indonesia sangat tinggi. Mereka menyambut baik kedatangan Salam, dkk. Tepuk tangan penonton di gedung bermuatan 32ribu orang itu memecah suasana Yalova, Turky.
“warga Turky sangat antusias menyambut penampilan kami. Tepuk tangan begitu riuh. Saya sangat bangga saat itu. Awalnya terasa terbeban sih, karena ini ‘kan mempertaruhkan nama baik Indonesia. Jadi kami harus benar-benar tampil maksimal,” ungkapnya, bersemangat.
Mantan Dokter Cilik sekolah dasar ini mengaku sempat mengalami “kaget budaya” di Turky. Berbeda dengan di Indonesia, jika kita berjumpa orang dengan bersalaman, disana “dengan cupika cupiki,” jelasnya menyebut ungkapan salam dengan peluk dan cium pipi. “terasa aneh saja, apalagi antara sesama cowok. Pernah saya tolak mereka karena saking kagetnya”. “Interaksi kami susah, karena berbeda bahasa. Apalagi sama-sama tidak bisa bahasa Inggris”. “yang paling parah, saat kami keluar dari kamar hotel, dan mencoba bergabung dengan peserta lain dari Korea. Kami disuguhkan minuman keras, untung kami segera mengenali baunya. Jadilah kami tak mencobanya. Langsung balik saja ke kamar” kenangnya malam itu.
Selain penampilan tari Geunta, mereka juga menampilkan tari liko’ pulo dan saman kreasi. Pada malam Indonesian Night mereka juga menghidangkan makanan khas Aceh, Mie Instan goreng pakai telur dan teh sedu. Hidangan yang sederhana, namun menarik selera para peserta. “peserta sangat suka, bahkan ada yang sampai nambah lima kali, berebut lagi. Hahaha,”
Negara anti-jongkok dan bersandar ini barulah awal dari perjalanan Salam. Perjalanannya masih panjang untuk berkreasi, bahkan jika mendapat rejeki Ia mempunyai keinginan untuk bisa melanjutkan S2 di Canada.
Keputusannya merantau ke Banda Aceh, sebenarnya tidak mendapat persetujuan orang tuanya. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Ia merelakan kuliahnya di SETAISES saat semester V, dan memutuskan masuk ke IAIN Ar-Raniry. Salam mengaku harus mencari kebutuhan sehari-harinya di rantau sendiri. Orang tua-nya yang bekerja sebagai petani kemiri dan coklat itu hanya bisa membantu uang kos dan SPP. Beberapa pekerjaan pun Ia lakukan untuk bisa bertahan hidup di ujung pulau sumatra itu. Terkadang kerja bangunan, jual nasi pakai gerobak, dan kerja serabutan lainnya. “Setelah saya gabung di sanggar, sekarang saya tidak bekerja sperti itu lagi. Saya melatih teman-teman disana. Walaupun tidak rutin diberi imbalan, namun itu semua lebih dari cukup.”
Selain pandai menari, pria yang bercita-cita menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini juga pandai memasak. “Mie instan itu gak sehat. Jadi kami lebih sering masak tahu dan tempe” akunya.
Salam menguasai banyak jenis tari. Saman, Liko’ Pulo, Ratu bantai, Seudati, Rapa’i geleng, dan mesare-sare. Walaupun Ia tidak bisa bahasa Aceh, namun dalam tari Ia bisa menyairkan lagu-lagunya. Diwaktu-waktu senggang biasa Salam lakukan untuk menghafal lagu-lagu pengantar tari yang sedang Ia pelajari. “Terkadang saya ditertawakan teman-teman saya, tapi saya terus saja latihan. Mereka juga mengomentari pengucapan bahasa saya yang salah,” katanya.
Cinta, Serius, dan Santai. Ketiga kata ini ditujukan kepada anda yang berminat mendalami seni tari. Menurut Salamuddin jika perpaduan antara ketiganya dapat dijalankan, pasti kita bisa menguasai tari dengan baik. Namun disamping itu, bakat dasar memang penting, jika tak ada, dengan terus latihan pasti akan mahir. Menghafal lirik lagu pengantar tari juga sangat penting dan bila tidak bisa bahasa liriknya, belajarlah dengan penutur aslinya.
Salam, penari saman berbakat ini adalah salah satu pemuda yang masih peduli dalam melestarikan dan menjaga budayanya. Ia merasa kecewa dengan generasi pemuda sekarang yang mulai tidak tertarik dengan budaya tradisional. Ketertarikan mereka malah berpindah ke alat-alat musik modern, seperti gitar, drum, piano, dsb. Padahal seni tradisional juga sangat asik dimainkan. Pemuda masa kini lah yang bertugas mengembangkan dan menjaganya. “jangan malu bawa rapa’i”, pesan Salamuddin. Matanya mulai merah, dan tubuhnya mulai terlihat letih.
(KukuhFeatures)
0 comments:
Posting Komentar